Penawaran Terendah Malah Jadi Polemik
BANTUL, (M-pres) – Pada musim tender yang saat ini sedang dilaksanakan oleh para pengguna barang dan jasa, timbul polemik tentang ‘harga penawaran terendah’ dari penyedia barang dan jasa yang ‘tak muncul’ sebagai pemenang tender. Fenomena ini berdampak proses tender menjadi bermasalah, sebab kemudian merasa ‘dizholimi’ oleh panitia lelang. Jika demikian bukan mustahil masalahnya bisa berujung di meja hijau lewat PTUN dan bisa menjadi ‘ATM’ oknum yang tak bertanggung jawab. Profesionalisme panitia diuji, bagi mereka yang benar-benar mengedepankan kepatuhan hukum tentu tak akan bermasalah. Namun bagi yang tidak taat, jerat hukum pasti akan mengalunginya.
Ditemui di kediamannya pekan silam, Ketua BPC Gapensi Kabupaten Bantul, H. Jatmiko mengatakan ‘harga penawaran terendah’ tak mesti harus menang. “Harus dinilai secara proporsional, seperti penawaran yang tak wajar jauh di bawah HPS, dampaknya kualitas pekerjaannya pasti tak sesuai dengan RKS. Padahal HPS dihitung oleh pihak pengguna barang dan jasa berdasarkan acuan harga standard satuan pekerjaan, bahan bangunan dan upah pekerja yang ditetapkan lewat SK Bupati/Walikota atau SK Gubernur,” imbuhnya.
“Menurut pengamatan saya, para penyedia barang dan jasa hanya mementingkan perolehanh pekerjaan. Mereka kadang-kadang lantas berbuat tak rasional dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan RKS. Solusinya jelas mencuri kualitas, misalnya besi beton yang seharusnya diameter ‘penuh’ diganti ‘banci’, jumlah batangnya dikurangi, campuran mortal beton atau adukan dilanggarnya dan masih banyak cara-cara yang ditempuhnya. Substansinya sederhana saja, yakni mengurangi kualitas pekerjaan,” jelas Jatmiko seraya menambahkan prinsip menguntungkan negara malah menjadi merugikan.
Lebih lanjut, dia mengharapkan agar para penyedia barang dan jasa lebih profesional dan proporsional dalam hal mengajukan harga penawaran. “Menghitung harga satuan pekerjaan dengan cermat berdasarkan harga yang wajar. Misalnya, upah pekerja riil di Bantul Rp 28 ribu per hari jangan dimasukan dalam analis pekerjaan menjadi Rp 20.000,-/hari. Yang penting, menurut saya pendekatannya adalah mengutamakan kualitas pekerjaan dan tak harus saling ‘dlosor dlosoran’,” ujarnya.
“Volume pekerjaan yang telah dibuat oleh pengguna barang dan jasa hanya sebagai acuan dan tak mengikat, kalau perlu dihitung ulang secara profesional sesuai gambar rencana, mungkin bisa lebih efisien. Mengenai fungsi pengawasan, saya tak banyak berkomentar karena itu merupakan ranah pengguna barang dan jasa. Namun meski demikian berdasarkan pengalaman saya dan khususnya petugas pengawas pekerjaan yang melakukan pengawasan pada proyek yang saya kerjakan, sebagian besar dari mereka ahli dalam bidangnya dan profesional,” pungkas Jatmiko bijak.
Sementara ditemui di tempat terpisah, mantan Sekretaris BPD ARDIN DIY, Heru Sardjono, BE menandaskan ‘roh’ Keppres 80/2003 adalah ‘efisiensi’ sehingga ‘harga penawaran terendah’ harus lebih diutamakan jika tak ada kesalahan yang ‘fatal’ pada syarat ‘administrasi’. “Semua pihak harus menghormati penyedia barang dan jasa yang berniat ‘menguntungkan negara’, mereka tentu telah menghitung harga penawarannya dan berani mengambil risiko. Misalnya, pembangunan jembatan Srandakan yang dikerjakan oleh Group Yala beberapa waktu lalu, dengan harga penawaran sekitar 55% dari HPS ternyata berhasil diselesaikan dengan kualitas yang prima.
Banyak proyek yang berhasil dikerjakan dengan baik, meski harga penawarannya di bawah HPS. Kuncinya pada fungsi ‘pengawasan’, jika fungsi itu berjalan dengan baik dan dilaksanakan secara profesional, problema kualitas pada harga penawaran terendah tak akan menjadi momok,” tegas pria penggemar rokok kretek itu. chol/her
Ikon Kabupaten Sleman, Mebel Bambu Tak Bikin Malu
Rumah terhitung cukup mewah di kawasan Kliningan, Buahbatu, Bandung itu ruang tamunya dilengkapi dua set kursi. Satu set tergolong semi antik berbahan kayu jati, satu set lainnya berbahan baku bambu. “Ini saya beli dari Sleman, Yogyakarta beberapa tahun silam. Ternyata kuat dan eksotis juga ya, tak perlu bikin malu!” ungkap tuan rumah saat menerima kedatangan M-pres, sambil menunjuk mebeler bambunya. Melihat motif dan tongkrongannya, mau tidak mau memang harus menghubungkannya dengan kawasan Cebongan, Mlati.

Hadirnya Cebongan sebagai sentra mebel bambu memang bukan tiba-tiba saja turun dari langit, tetapi melalui proses perjalanan cukup panjang. Bisa dibilang perajin-perajin seperti Hartono, Muryadi, Sugiarto, Sukidi, Ninik atau tetangga seprofesinya tinggal ‘nemu enaknya”. Jauh sebelum itu, sekitar tahun 1970, Pak Kartodimejo yang bisa disebut sebagai pelopornya, tertatih-tatih berjalan dalam kesendirian. Ia marupakan satu-satunya perajin kursi bambu saat itu, ia pula yang nyunggi (membawa di atas kepala) produknya, jalan kaki menjajakan keliling kota Yogyakarta yang berjarak sekitar 15 km dari Cebongan.
Ibarat tak kenal maka tak sayang, ketika beberapa tahun berikutnya di ujung Jl. Suryotomo, seberang pabrik besi Purosani (kini Hotel Melia) Yogyakarta muncul agen furnitur bambu, keberadaannya pun semakin dikenal. Tentu kemudian semakin disayang, terbukti pasarnya semakin bagus, pesanan meningkat, bahkan banyak yang langsung memesan ke perajinannya dengan desain sesuai permintaannya. Nah, buntutnya di daerah Cebongan bermunculan perajin mebel bambu, hingga sekarang. Perjalanan kemudian, furnitur bambu bahkan merupakan produk kerajinan unggulan sekaligus ikon Kabupaten Sleman.
Kini kawasan di seputar Desa Sendari, Cebongan, terdapat belasan perajin yang tergabung dalam beberapa kelompok. Selain yang memiliki lokasi usaha di pinggir jalan besar, sejumlah lainnya berproduksi di dalam kampung. Untuk lebih memajukan pemasaran, pihak Pemda Sleman kemudian memfasilitasinya antara lain dengan seragamisasi papan nama usaha dan penyediaan lokasi untuk ruang pamer.
Kini, meski dengan membayar sewa sekitar Rp 900.000,-/tahun kepada kalurahan sebagai pemilik lahan, belasan perajin sudah bisa ngumpul dalam kompleks ruang pamer. Kesehariannya mereka nyaris tak penah istirahat memenuhi pesanan furnitur bambu atau produk sejenis lainnya. Menurut Mbak Ninik, pemilik usaha Deling Asri , dengan tersedianya kompleks ruang pamer, perajin memang banyak terbantu. Taruhlah, calon pembeli menjadi lebih gampang mencarinya.
Menurut Ninik, lebih dari sekadar pasar lokal, pasar ekspor pun makin berpeluang. Deling Asri sendiri telah beberapa kali mengekspor beberapa jenis produksinya, antara lain ke Portugal dan Phillipina. Ekspor serupa juga dilakukan oleh Sugiarto, ke Italia, Belanda dan Jerman. “Jenisnya ya macam-macam, ada mebeler, ada ranjang, ada pula perangkat meja dan kursi kafe atau bar. Pokoknya tergantung permintaan!” ujar Ninik tentang produk-produk ekspornya.
Pasar ekspor ternyata tidak saja dimonopoli satu atau dua perajin. Muryadi dengan benera usahanya Muda Kreatif misalnya, bahkan memiliki ‘negara penampung’ lebih banyak semisal Italia, Inggris, Swiss, Spanyol, Amerika, Korsel, Turki, Austria, Singapura, Taiwan dan Malaysia. “Awalnya kami memang terseok-seok, baru sekitar tahun 1986 bangkit, dan berkibar justru sejak krisis moneter!” kata Muryadi.
Sementara itu, Sukidi dari kelompok usaha Karya Makmur yang berlokasi di Jl. Kebonagung, Mlati, juga mengaku memiliki buyer tetap di sejumlah negara manca. Kreasi, inovasi, pengembangan desain produk merupakan hal yang tak pernah diabaikan sejak dirinya berkerajinan. Selain memproduksi mebeler, Sukidi juga menggarap pernah-pernik lainnya, bahkan termasuk melayani pesanan, meja dan kursi kafe dan gazebo (gubug). Untuk satu set meja kafe, terdiri dari empat meja harganya berkisar Rp 750.000,- Untuk gazebo, tergantung model yang diinginkan, harganya sekitar Rp 5 juta.
Mebeler Cebongan kebanyakan menggunakan bambu-bambu jenis petung, wulung (hitam), legi (putih kekuningan), tutul (totol-totol). Hanya sebagian kecil yang memanfaatkan bambu apus, karena jenis ini lebih banyak digunakan untuk kerajinan anyaman oleh masyarakat Lendah, Kulonprogo, atau Dlingo, Bantul. Selain bahan baku bambu, perajin juga menggunakan bahan pendukung seperti rotan, vernis, atau melamin untuk proses finishing.dillan revada
Tinggi, Laporan Warga Berkait Sengketa Tanah
BANTUL, (M-pres),- Di wilayah Kabupaten Bantul, hingga sekarang ini masalah sengketa tanah masih merupakan problem menonjol. Kenyataan tersebut terungkap dari tingginya laporan yang masuk ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat berkait dengan perselisihan, khususnya menyangkut pemalsuan tanda tangan oleh orang bukan pemiliknya. Kepala BPN Bantul Ir. Mulyoko mengungkapkan tingginya senketa tanah tersebut bisa telihat dari tingginya laporan masyarakat yang masuk ke institusinya. “ Hampiur bisa dikatakan, setiap minggu ada saja warga melapor berkait dengan kepemilikan tanah!” ujar Mulyoko di sela-sela pelantikan 11 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di kantornya, Rabu pekan silam.
Dilukiskannya, laporan warga itu antara lain menyangkut pemalsuan tanda tangan, terlebih ketika tanah dimaksud kemudian sedang memasuki proses jual beli. Mengingat falsafah Jawa sedumuk bathuk senyari bumi, masalah-masalah seperti itu pun akhirnya sering menjadi berkepanjangan dan menuntut penyelesaiannya. Berkait dengan masalah-masalah seperti itu, ke depan PPAT dituntut untuk mengambil peran lebih optimal. Masih berkait dengan permasalahan tanah pula seperti halnya daerah lain BPN Bantul mulai memberlakukan sistem administrasi pertanahan Pelayanan Masyarakat Sertifikasi Tanah (larasita). Dengan sistem tersebut pelayanan bisa lebih cepat dan akurat, karena selain bisa dimonitor di server BPN Bantul, san secara online bisa termonitor di BPN tingkat pusat.
Ke-11 PPAT yang dilantik dan akan bertugas di wilayah Kabupaten Bantul tersebut, antara lain: Anita Widyawati, SH, MKn, Agatha Irmawati, SH, Devy Lestari, SH, Dwi Kartiyana, SH, Dwi Noor Yudisatmoko, SH, Ernawan Prajanti, SH, MKn, Nelly Komariyah, SH, Neneng, SH, MKn, Fitri Danar Shanti, SH, MKn, Yulia Rani Kristiani Ginting, SH dan Alamsyah Prasakti, SH.adrian
Mau Sekolah tak ada Biaya? Pemda Siap Menanggung
BANTUL, (M-pres),- Pemda Kabupaten Bantul menyatakan siap menanggung biaya pendidikan bagi keluarga miskin hingga jenjang setinggi apa pun, selama si anak didik berkemauan keras untuk bersekolah. Kepastian tersebut dilontarkan oleh bupati setempat, HM Idham Samawi di hadapan peserta jamaah pengajian akbar yang digelar di Sutopadan, Ngestiharjo, Kasihan pekan lalu. Idham tidak tidak sedang membual kala itu, dan langsung memberi contoh telah berhasil menyekolahkan anak buruh cuci hingga jenjang S2 Fakultas Teknik UGM.
Tanpa menyebut nama anak maupun orangtuanya, Idham yang tak lama lagi akan mengakhiri tugasnya di Bantul itu menyebut anak dimaksud di biayai sejak SMA. Kini telah lulus dan sudah terserap sebagai tenaga kerja di perusahaan raksasa dengan gaji jutaan rupiah. “Yang penting si anak berkemuan keras untuk belajar. Jika jelas-jelas dari keluarga miskin yang dipastikan tak mampu membiayai, pemda akan mengambilalih pembiayaannya. Jangan khawatir!” ujarnya bersemangat dan langsung disambut apluas peserta pengajian.
“Yang membuat kami bangga, ternyata setelah selesai studi dan bekerja, sebagian besar gajinya dikirim ke orangtua. Ia sendiri sekadar mengambil untuk kebutuhan hidup dirinya!” lanjutnya, masih dalam nada serius. Pada bagian lain, Idham mengemukakan sejak awal Pemda Bantul memang berobsesi agar seluruh warganya terdidik. Kebijaksanaan pemda untuk menanggung biaya pendidikan bagi keluarga kurang mampu merupakan salah satu alternatif menuju terpenuhinya obsesi. Itu bukan satu-satunya, karena kebijakan lain berkait dengan pendidikan juga terus diupayakan.
“Kasare, Idham entuk bodho, ning anak putu aja nganti bodho, aja nganti dipinteri liyan (Pendeknya, Idham boleh saja bodoh, tetapi anak cucu jangan sampai bodoh, apalagi kebodohannya dimanfaatkan oleh orang lain)!” lanjutnya lagi. Ia mengingatkan agar kepintaran anak-anak Bantul pada gilirannya benar-benar mampu melebihi kepintaran orangtuanya. Pengertian pintar itu bukan sekadar menguasai ilmu dari bangku sekolah, tetapi sekaligus harus bermakna cakap, berilmu, berwawasan luas, beriman dan berbudi pekerti luhur.
Nah, Bupati telah dengan bersungguh-sungguh menggugah semangat, bahkan siap merogoh biaya. Tinggal bagaimana warga, khususnya anak-anak memanfaatkannya.adrian
Frenky Yusandhy, Wakapolres Bantul
BANTUL, (M-pres),- Jabatan Wakapolres Bantul pekan lalu diserahterimakan dari pejabat lama Kompol Widiatmoko, SH, SIK kepada penggantinya, Kompol Frenky Yusandhy, SIK. Widiatmoko selanjutnya akan mengikuti Sekolah Staf Pimpinan (Sespim), sementara Frenky sebelumnya menjabat sebagai Kabagops Poltabes Yogyakarta. Jabatan yang ditinggalkan Frenky selanjutnya akan diserahkan kepada Kompol Drs. Parwoko. Prawoto sendiri digantikan oleh Kompol Suryatama Nugraha, SH yang sebelumnya bertugas sebagai SPN Polda DIY di Banyubiru.

Menanggapi sub-tulisan "Tinggi, Laporan Warga Berkait Sengketa Tanah"; pertanyaannya, bagaimana kl masalahnya justru ada di Notaris tsb?
BalasHapusHari ini sy menelfon slh satu Notaris yg disebutkan di atas, Ibu Yulia Rani Kristiani Ginting, SH, notabenenya saya sudah memasrahkan surat tanah saya kepada Beliau sejak Oktober, 2016. Saya tau pembuatan surat tanah ini agak sedikit rumit prosesnya, karena sifatnya yg pecah waris dari pemilik pertama, tetapi mengacu pada Surat Perjanjian Jual Beli yg sudah ditandatangi dan otomatis dibuat secara sadar oleh ketiga belah pihak; saya (pembeli), penjual dan perwakilan dari Ibu Yulia Rani sendiri, di bulan Maret 2017 seharusnya surat tanah itu SUDAH jadi. Sampai di bulan Mei 2017, kami tidak mendapatkan kabar sedikitpun, lalu kami inisiatif bertanya kepada pihak Ibu Yulia Rani ttg perkembangan proses tanah tsb, dijawabnya bahwa sekarang baru di proses pendaftaran. Saat kami meminta HAK kami selaku pembeli untuk mengetahui atau paling tidak melihat fisik Surat Pendaftaran Tanah tsb, yg notabenenya kami ini sbnrnya sudah membayarkan sejumlah uang sesuai surat yg tertuang dalam Surat Perjanjian, kami, terutama orang tua saya yg sudah sepuh justru dilempar jawaban;
1. bahwa surat perjanjian itu ada di kantornya, lalu pihak Ibu Yulia Rani meminta kami untuk kantornya (sebelum kami datang ke rumah Beliau, kami sebenarnya sudah memberi kabar bahwa kami akan kesana, dan tentu saja untuk melihat surat pendaftaran itu)
2. saat kami ke kantornya berdasarkan jam yg beliau arahkan, disana katanya pihak yg menangani tentang dokumen tsb sudah pulang (padahal arahan jam brp kesananya adalah dari pihak Ibu Yulia Rani sendiri dan bukannya atas usulan kami)
3. saat kami datang lagi ke rumah Ibu Yulia Rani lagi-lagi berdasarkan arahan pihak Beliau, kami justru menerima nada keras yg intinya kami ini panikan dan dy itu banyak menangani rumah yg nilainya lebih tinggi dari kami dsb. Saat Bapak saya mencoba membela diri, dengan mengatakan bahwa kami sudah bertanya ttg Surat Pendaftaran itu dari berbulan-bulan lalu, malah dijawabnya agar kami ini suruh membeli banyak tanah agar kami tau prosesnya (tentunya jika kami membeli tanah lagi tidak akan kami pilih Notaris yg SERAMAH Ibu 😂😂) .
Intinya dengan pengalaman kami ini, dari pihak kami ini sudah menunaikan KEWAJIBAN kami sebagaimana yg ada dalam Surat Perjanjian, kami hanya meminta HAK kami untuk sekadar diberitau perkembangannya, bahwa surat yg seharusnya selesai Maret sampai di bulan Mei pun tidak ada kejelasan, saat kami bertanya justru Surat Pendaftarannya sampe di detik ini pun, 18 Juli 2017 tidak bisa Beliau hadirkan, justru kami malah dimarahi. Sampai saat ini Beliau bilang akhir Juli ini Surat Pendaftaran itu akan bisa kami lihat. Dari kami sebenarnya terbuka jika dalam proses pembuatan surat tanah ini ada masalah, artinya kami pun akan memaklumi, karena kami tau sifatnya yg turun waris dari pihak pertama, tapi kami dari pihak pembeli hanya minta untuk diberitau sejauh mana prosesnya termasuk jika ada kendala didalamnya, sebagai 'tentremnya hati' kami yg sudah menyetor uang, lalu dijanjikan bulan Maret untuk jadi surat tanahnya, dan tidak ada kabar dalam selang waktu itu. Semoga menjadi pelajaran untk semuanya.
Salam,
Utami