
NAMAKU Santi Maharani, penyanyi di rumah musik dan restoran di Yogya. Aku tak tahu kenapa jadi penyanyi malam, tapi pekerjaan ini sudah kujalani bertahun-tahun dengan segala macam lika-likunya. Pernah dipuja-puja ketika usiaku masih muda. Banyak uang, kehidupanku waktu itu sangat lumayan.
Tapi sebaliknya pernah juga tidak punya job. Untuk menyambung hidup sering kali barang-barangku keluar-masuk pegadaian ‘mengatasi masalah tanpa masalah’. Betapa tidak? Aku harus tetap hidup dan menghidupi anakku. Sekarang bocah itu sudah lulus SMK sebentar lagi jadi mahasiswa dia ingin kuliah di ISI.
Kuceritakan kisah ini apa adanya. Sekarang kan zaman transparan tak perlu menutup-nutupi. Bekerja jadi penyanyi mmemang harus tampil glamour. Yah apa boleh buat, dunia kami memang menuntut begitu.
Pertama kali berdandan seperti ini, bukan hanya orang-orang di dusunku yang kaget, aku sendiri pun risih. Kami sekeluarga lahir dari keluarga sederhana dan sejak kecil tinggal di desa, ayahku seorang PNS.
Pertama kali minta izin ortu untuk nyanyi di pub atau restoran, ayahku marah dan curiga. “Cah wedok bengi-bengi dolan. Nyanyi kok jam 11 malam, terus yang mau nonton siapa?. Jangan-jangan kamu bukan nyanyi, tapi kerja yang tidak bener,” kata ayah.
Meski sedih dan sakit hati dicurigai ayah, pelan-pelan aku jelaskan bahwa pub atau rumah musik di manapun, baru buka pukul 22.00. Orangtuaku tetap sulit percaya. Sampai pada suatu hari Tuhan memberi petunjuk.
Hari itu aku dapat job nyanyi dengan sponsor sebuah produk rokok nasional, atas izin panitia semua penyanyi dan personal grup band ku usung ke rumah. Orang tuaku kenal dan melihat bagaimana kami latihan, berdandan dan bersiap-siap. Ketika aku benar-benar tampil di TV, ayah baru mesam-mesem, bangga.
Mungkin pembaca bertanya-tanya, dari awal aku hanya menceritakan diriku dan anakku. Lalu siapa suamiku, kerja di mana dan seterusnya.
Jadi ’Single Parent’
Jujur saja, statusku janda. Belum selesai sekolah di SMK aku hamil dan suamiku pergi entah ke mana. Aku jadi single parent, jadi ibu sekaligus ayah bagi anakku. Hidup dari menyanyi sebisanya, dari pub ke restoran, dari loby hotel ke pesta pernikahan, juga dari lapangan ke lapangan menyanyi untuk kampanye caleg dan berbagai partai.
Aku tak punya pelatih atau guru. Belajar lagu hanya lewat radio atau kaset. Latihan gaya di depan cermin atau menimba ilmu dari penyanyi dan pemusik lain yang lebih senior. Mula-mula hanya ‘laku’ menyanyi di RT dan RW untuk mengisi acara 17 Agustusan, lalu jadi kenek atau membantu penyanyi senior. Akhirnya, pelan-pelan dipercaya menyanyi di restoran Takashimura (TM) di jalan Solo, diiringi sekaligus dilatih oleh mas Totok Gunawan, pemusik tunanetra. Sayang, Takahimura sudah kukut. Setiap kali melewati jalan Solo, aku sering menangis melihat restoran TM yang ikut membesarkanku.
Penyanyi malam akrab dengan resiko dan gosip miring, terkadang dilecehkan, dianggap pelacur, kerja kok malam-malam…dst. Lho, padahal banyak perempuan bekerja malam: dokter dan perawat di RS, penyiar radio, operator telepon, resepsionis hotel dst. Tapi mengapa mereka tidak pernah digosipkan dan diapa-apakan?
Honor penyanyi malam amat kecil. Untung sering mendapat tips atau sawer dari pengunjung. Uang ini dibagi adil dengan player atau pemain musik. Itu kalau nasib sedang bagus, tapi pernah semalaman hujan lebat, tak ada tamu di restoran. Atau listrik mati sehingga restoran tutup awal. Juga bukan rahasia, ada tamu mabuk dan membuat kisruh, berkelahi.
Tentang tamu yang jatuh cinta, kejadian seperti iiu ‘bukan berita baru’. Sebagai penyanyi malam aku harus adil, rajin mendatangi dan meyapa tamu dari meja ke meja, mengajak mereka menanyi di panggung. Jika lupa menyapa, tamu yang merasa sudah akrab jadi marah atautersinggung. Belum lagi cerita pulang dari menyanyi diikuti penggemar sampai ke rumah sampai ditawari uang besar asal mau ‘diapa-apakan’. Aku marah, tapi posisiku begitu lemah. Aku hanya menangis meratapi nasib. Suryadi AP
(MINGGU DEPAN: “Ikut Antri BLT”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar